Kamis, 14 Juni 2012

Wanita itu Kartini Dunia, dengan atau tanpa UU KKG


By : Astina Dwi Errika
Pendidikan Matematika ‘10

Wanita, siapa yang tak familiar dengan kata ini. Kata yang memiliki sejuta makna bagi yang membaca, mendengar, dan menyebutnya. Bahkan dengan satu double folio pun tak cukup menggambarkan makna dari ‘wanita’ ini. Sosok yang identik dengan feminisme dengan segala realita kehidupannya dan menginspirasi semua mata yang menatapnya. Tak bisa ditampik  bahwa seorang wanita adalah tonggak perubahan dalam setiap bidang kehidupan. Selaras dengan pepatah bahwa ‘dibalik pria hebat, terdapat peran wanita di belakangnya”. Bayangkan, sebuah kata –negara- saja di berikan sebutan ‘ibu pertiwi’ bukan ‘bapak pertiwi’. Ini menggambarkan bahwa istilah dan status ‘wanita’ itu benar-benar istimewa bagi yang menyandangnya.
Berbicara mengenai sosok serta peranan wanita, tentu kita tidak asing lagi dengan seorang tokoh yaitu  R.A Kartini, sosok  pejuang  wanita yang dengan segala kemampuan yang ia punya baik pikiran maupun tenaga untuk memerjuangkan hak-hak yang seharusnya didapat oleh kaumnya yang tak lain adalah kaum wanita. Kasus diskriminasi terhadap wanita ketika itu sangatlah mencuat, dimana oleh pihak penjajah wanita tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan, berpartisipasi dalam sosial dan masyarakat  dan berbagai perlakuan yang menahan kapabilitas wanita dalam hal kreativitas, intelektualitas, dan sosial. Kemudian, dengan segala upaya dilakukan oleh sang pejuang R.A Kartini agar hak-hak yang layak didapat oleh kaum wanita tersebut dikembalikan lagi oleh para penjajah. Alhasil, meskipun dengan mengorbankan jiwa dan raga usaha-usaha yang dilakukan beliau bersama para pendukungnya pun membuahkan hasil yang membanggakan.  Hak-hak yang memang sepatutnya di dapat oleh wanita pun direbut kembali. Demikian singkat cerita mengenai perjuangan tokoh wanita memperjuangkan hak-hak wanita di masa penjajahan. Lalu, dibandingkan sekarang, apakah perjuangan ibu Kartini itu masih terus berlanjut ?.
Jawabannya tentu saja “ya”. Perjuangan terhadap hak-hak wanita ini akan terus berlanjut karena tak kan ada yang bisa menahan langkah wanita untuk terus membuktikan eksistensi diri. Namun, yang menjadi pertanyaan sekarang bagaimana bentuk upaya wanita dalam hal memperjuangkan hak-hak mereka ? apakah sama seperti yang dilakukan oleh Ibu Kartini dengan menguras tenaga hingga tetes darah terakhir ?. Jika dipikir secara logika, tidak mungkin dimasa sekarang dilakukan hal-hal heroik seperti masa penjajahan. Oleh karena itu, jika anda mendengar topik pembicaraan  mengenai RUU KKG ( Keadilan dan Kesetaraan Gender) itulah jawaban dari pertanyaan – pertanyaan yang terturai sebelumnya.
Rancangan Undang-Undang tentang Keadilan dan Kesetaraan Gender ( RUU KKG ) merupakan isu nasional yang tengan ramai dibicarakan saat ini. Upaya melanjutkan perjuangan sang Ibu Kartini tertuang secara fisik dalam perancanga Undang-Undang ini. Mengutip dari salah satu pasal di RUU ini, pasal 1 ayat 2 : “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.”
Isi dari ayat ini menjawab mengapa RUU ini disebut sebagai benuk kelanjutan perjuangan hak wanita episode masa sekarang.  Dengan jelas diuraikan bahwa antara wanita dan pria memiliki hak yang sama dalam semua bidang kehidupan. Artinya bahwa wanita Indonesia semakin ingin mengepakkan sayapnya dibidang manapun dan membuktikan pada dunia bahwa eksistensinya patut untuk diberikan perhatian lebih.
Namun, sebagai sebuah pembaharuan dalam perkembangan dunia kewanitaan dan dunia perpolitikan, tentunya rancangan undang-undang ini memancing perhatian banyak pihak. Perhatian masyarakat pada rancangan undang-undang ini berupa dukungan juga kecaman. Sebagian yang mendukung RUU ini menganggap bahwa ini adalah salah satu bentuk revolusi bagi dunia wanita dimana tak ada lagi perlakuan-perlakuan diskriminatif terhadap wanita, apapun bentuknya baik itu kekerasan, pembatasan untuk memperoleh akses, partisipasi, dan kontrol dalam hal pembangunan. Hal ini tidak bisa dianggap enteng karena jika rancangan ini kelak disetujui dan diterapkan maka secara legitimasi akan diakui aturan-aturannya yang berefek pada ganjaran yang diberikan kepada pada pelanggar.  Kemudian, rancangan ini memberikan peluang dan kesempatan sebesar-besarnya bagi seluruh wanita Indonesia untuk menunjukkan sepak terjangnya di negara bahkan dunia. Jikalau dulu terdapat beberapa profesi yang tidak diperuntukkan bagi kaum wanita, mungkin dengan adanya rancangan ini aturan remeh semacam itu tidak akan berlaku lagi. Wanita akan semakin mudah dalam mencapai karirnya selain tugas utamanya yaitu sebagai supervisi rumah tangga.
Disisi lain, sebagian kelompok yang mengecam bahkan menolak rancangan ini menganggap bahwa rancangan undang-undang ini merupakan sebuah pemaksaan hak. Dengan substansi bahwa mulai dari asas, undang-undang ini tidak mencantumkan agama sebagai asas. Padahal di UUD 45 ada konsep “ Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Esa”. Para pemimpin kita dahulu sudah menyadari bahwa keberadaan Tuhan itu sangan penting. Sedangkan RUU KKG ini hanya berorientasi pada dunia serta mengesampingkan akhirat. Bisa jadi ketika RUU ini sah, kewajiban untuk mencari nafakah bisa dipindah kepada wanita. Logika yang dibangun nampak sangat keteteran secara alamiah. Sebenarnya semua hak itu ada porsinya masing-masing. Orang yang diakui melahirkan dan hamil tidak bisa dipertukarkan dengan orang yang dilahirkan menjadi laki-laki. Wanita memiliki porsi yang berbeda dari laki-laki. Akan tetapi itu akan tetap dalam tataran keadilan.
Namun, terlepas dari semua bentuk pro dan kontra yang ditimbulkan oleh RUU KKG ini, mestinya menjadi cerminan bagi kita bahwasanya Tuhan telah menciptakan wanita dan pria itu dengan hak dan kewajiban masing-masing dan sepatutnyalah untuk saling menghargai hak dan kewajiban tersebut. Tergantung dari pribadi kita masing-masing bagaimana menanggapinya dan memilih apakah akan ikut menolak, menerima atau bahkan tidak bereaksi apa – apa terhadap hal itu. Namun satu hal yang perlu diingat bahwa esensi seorang wanita tidak dapat untuk dikurangi atau bahkan untuk dihilangkan dalam segala segi kehidupan. Kontribusi antara wanita dan pria pun pada dasarnya saling bersinergis, dan berkesinambungan. Dan seorang wanita akan tetap pada kodratnya untuk menjadi ibu dalam keluarga. Interpretasi orang- orang pun tak akan berubah mengenai seorang wanita, sebab wanita akan tetap menjadi Kartini dunia dengan atau tanpa adanya Undang-Undang KKG tersebut. Karena takkan ada yang bisa membatasi langkah para wanita dalam meraih kebahagiaan mereka.
HIDUP WANITA INDONESIA ..!! ^_^

0 komentar:

Posting Komentar